Selasa, 18 Maret 2014

Modus Penipuan Jual Beli Barang Online di Indonesia

ETIKA PROFESI



Maraknya jual beli barang via internet atau e-commerce membuat orang semakin mudah untuk membeli atau menjual barang. Tidak perlu memakan waktu lama untuk pergi ke toko, cukup menyediakan gadget atau computer yang tersambung dengan internet kemudian browsing barang yang ingin dicari dan dibeli. Banyak situs online yang menyediakan fasilitas jual beli online dengan bermacam – macam keunggulan sendiri untuk menarik pelanggan agar mampir ke lapak yang dijualnya.
            Akan tetapi tidak semua jual beli online mudah dan gampang tanpa resiko. Banyak modus penjual yang curang dalam menjual barang. Biasanya barang yang dijual lebih murah dari pasaran. Hal tersebut patut diwaspadai oleh pembeli. Oleh sebab itu perlu ekstra hati – hati jika memilih barang yang akan dibeli.
            Sangat sulit untuk mendeteksi setelah pelaku penipuan melakukan aksinya yang membuat pembeli kebingungan dan sangat kecewa setelah tertipu oleh nya. Melaporkan polisi pun juga belum tentu banyak tindakan yang dilakukan, karena pelaku tidak di lingkup wilayah nya. Biasa nya pelaku mengaku berdomisili di daerah batam, karena daerah tersebut berbatasan langsung dengan Singapura yang banyak di derah tersebut barang black market (BM).
Perlakuan Hukum
Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan yang dilakukan pada umumnya. Perbedaannya hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer,
internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."


Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar (Pasal 45 ayat (2) UU ITE). Lebih jauh, simak artikel Pasal Untuk Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online. Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 5 UU ITE:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik “Penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dasar hukum
1.      Kitab Undang – undang Hukum pidana (Wetboek van Strafrecht Staatsblad 1915 no 73)
2.      Undang – Undang No.8 Tahun 1918 tentang Hukum Acara Pidana.

3.      Undang – undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar